Steam, Game Free-to-Play, dan Era Baru Industri Gaming.

Lazuardyas Zhafran Ligardi
5 min readApr 26, 2020

Seiring semakin tumbuhnya pasar electronic entertainment dimana game adalah salah satu unsur didalamnya, industri game memiliki andil dalam ramainya populasi game-game di platform ini. Developer-developer besar maupun indie turut mencoba peruntungannya dengan memasukkan game mereka kesana. Selamat datang di Steam, ‘digital mall game’ terbesar di dunia.

Bagi seorang casual gamer seperti saya, yang hanya menghabiskan sedikit–mungkin sangat sedikit uang untuk memprioritaskan kebutuhan gaming, dan lebih mengutamakan game gratis (free-to-play) untuk dimainkan. hal ini tentunya mengagetkan saya. Saat saya menulis ini terdapat ribuan game free-to-play yang jumlahnya seperti screencap ini. Wow. Jumlah yang kalian bisa hitung sendiri itu terbagi-bagi dalam berbagai genre game. Cek sendiri di websitenya.

Ingatan saya berkedip-kedip, kalau tidak salah populasi game gratis saat terakhir kali saya membuka Steam jumlahnya sedikit, dan marketingnya tidak se-masif sekarang. Pokoknya tidak banyak. Memang saya sendiri tidak terlalu memperhatikan section tersebut karena dulu semasa SMP dan SMA saya dan kawan-kawan hanya berfokus pada Counter-Strike, DOTA 2 dan terkadang Pro Evolution Soccer di kelas, ketika tidak ada guru masuk tentunya.

Jumlah yang Tidak Mencerminkan Kualitas

Rating dari sebuah game dapat diukur dari 3 aspek yang paling sering ditinjau dalam sebuah game: kualitas grafis; storyline; dan gameplay. Ketiga unsur ini memang tidak harus saling memenuhi untuk menilai game tersebut berkualitas atau tidak. Ada kelompok gamer yang lebih mementingkan aspek grafis dari game, ada yang memilih untuk tidak peduli dengan kualitas grafis dan lebih mementingkan kualitas storyline, ada juga yang mementingkan gameplay, seperti saya.

Saya menemukan beberapa judul game yang memiliki jalan cerita baik, tetapi dengan gameplay yang membosankan. Buat para pemain game Minecraft mungkin tidak terlalu mementingkan kualitas grafis, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dari segi gameplay Minecraft adalah game survival yang cukup addicting. Tetapi bagi para pemain genre open world seperti No Man’s Sky, grafis adalah faktor yang mereka elu-elukan meskipun game tersebut memiliki gameplay repetitif dan jalan cerita yang membosankan. Seperti produk elektronik, setiap judul game memiliki keunggulan masing-masing. Sengaja dirancang seperti itu untuk menargetkan kelompok pasar gamer tertentu seperti yang saya uraikan di paragraf sebelumnya.

Rating dari sebuah game dapat diukur dari 3 aspek yang paling sering ditinjau dalam sebuah game: kualitas grafis; storyline; dan gameplay.

Kembali pada pembahasan kita, apakah dengan ribuan judul game gratis yang terdapat di Steam maka kita dapat mengambil kesimpulan semua game yang tersedia berkualitas?

Belum Tentu.

Meskipun laman game gratis Steam digawangi oleh judul-judul sukses nan populer seperti Counter-Strike: Global Offensive, Team Fortress 2, DOTA dan World of Warships, tidak berarti semua judul game gratis yang ada disana memiliki kualitas yang sama seperti game yang saya sebutkan tadi.

Saya yakin seorang gamer pemula akan bungah pada pandangan pertama ia melihat banyaknya koleksi game gratis di Steam. Rasa gembira tersebut diiringi dengan ekspektasi bahwa ia akan segera mengunduh dan memaikan game-game gratis itu sebanyak-banyaknya. Setelah ia memainkan 10–12 game gratis dan menyadari bahwa tidak semua game didalamnya berkualitas sama seperti judul-judul game besar yang saya jabarkan di paragraf sebelumnya, ia akan kecewa dan akhirnya kembali mencari website-website penyedia download game bajakan.

Ada yang servernya mati, Ada yang crashed, sebuah kondisi dimana terdapat error dalam game yang berjalan sehingga memaksa program game berhenti sendiri. Ada yang bahkan, memiliki kualitas grafis yang buruk, tanpa storyline dan gameplay menarik. Developer seakan ‘ngasal’ dalam membuat game tersebut. Saya yakin game seperti ini tidak hanya 1–2 judul saja di Steam. Game yang ‘tidak memenuhi standar kualitas’ ini dapat diidentifikasi dengan cara melihat review (testimoni) pengguna yang memainkan game itu. Tinggal scroll dan nilai sendiri.

Gratis, Apakah Murahan?

Selain itu, game gratis, atau yang digratiskan, tidak melulu berarti ‘barang murahan’. Mungkin banyak dari kita yang menganalogikannya seperti barang-barang grocery: Barang yang murah, atau bahkan gratis, biasanya dicap ‘murahan’, sebuah kata ganti untuk produk ekonomis yang kurang berkualitas. Tetapi kau tahu, industri game adalah industri yang sangat berbeda dari industri makanan dan peralatan dapur. Game gratis bukan selalu berarti memiliki kualitas rendahan. Bagi saya, pada saat ini ‘harga’ sebenarnya sebuah game tidak terukur dari price tag yang melekat, tetapi seberapa besar playerbase (jumlah pemain aktif, jumlah mikro-transaksi, fanbase) yang mereka miliki, dan seberapa mampu sang developer untuk mempertahankan atau menambah pengguna-pengguna baru. Sudah banyak contoh game gratis yang sukses besar dikarenakan jumlah playerbase yang masif, seperti Fortnite dan Apex Legends. Mobile gaming pun sama : PUBG Mobile, Pokemon Go dan Mobile Legends meraih kesuksesan yang sangat terasa. Belum masuk ke platform PS4 dan Xbox, dan yang terbaru, Nintendo Switch.

Now, games have many ways to be monetized that are more valuable than charging $$$ for the game itself.
-
IGN

Awal Perubahan Model Bisnis Industri Game?

Model bisnis penjualan game pada era ini tidak sesederhana 10 tahun lalu dimana konsumen membeli sebuah kaset game, membayarnya di kasir, lalu membawanya pulang untuk dimainkan di rumah, dan repeat. Monetisasi game masa kini tidak melulu harus dilakukan seperti cara tersebut.

Hal lain yang meyakinkan saya bahwa telah terjadi perubahan business model di industri game adalah digratiskannya iterasi terbaru dari game legendaris Counter Strike yaitu Global Offensive keluaran publisher game besar, Valve. Bagi saya banyak nostalgia yang melekat pada Counter-Strike. Komputer PC rumah pernah saya installkan versi bajakan Counter-Strike 1.6 dan Condition Zero. Semasa SMP saya lumayan sering ke warnet bersama teman-teman sekelas untuk bermain dengan mode LAN multi-player (sistem dimana pemain bisa saling bertarung dalam satu jaringan komputer) dengan paket warnet 1 jam, biasanya sepulang sekolah. Permainan first person shooter ini begitu intens dengan skenario yang sederhana; anda bisa memilih faksi antara Terrorist (penjahat), atau Counter Terrorist, (yang kalau di Indonesia seperti Densus 88 Anti-Teror); memilih senjata lalu mengeliminasi lawan sampai habis.

Intermezzo, judul Counter-Strike terakhir yang saya mainkan adalah CS: Source. Dibandingkan dengan Global Offensive, terdapat peningkatan terutama dari sisi physics, grafis dan maps (peta peperangan), untuk gameplay, terasa tidak ada perubahan berarti. Dulu saya beli seharga $9.99, itupun harga diskon summer di Steam. Saya lupa harga aslinya berapa. Maklum, ini kejadian sudah bertahun-tahun lalu. Ketika saya kembali ke Steam awal tahun ini dengan akun yang benar-benar baru, digratiskannya Global Offensive membuat saya terkaget-kaget. Sayangnya saya baru tahu setelah bertahun-tahun meninggalkan Steam! Game AAA seperti Counter Strike, bisa saja menjadi inspirasi bagi developer-developer game lain untuk menciptakan game free-to-play, dengan fokus mencari penghasilan dari mikro-transaksi, penjualan item dan ‘prime status’.

Di masa depan mungkin saja kita tidak perlu lagi mencari keygen, tidak perlu patch, apalagi mencari versi reloaded dari sebuah game. Kita semua bisa memainkannya, gratis.

Game on.

Temukan tulisan-tulisan lain di laman profil Medium saya : www.medium.com/@ligardi

--

--

Lazuardyas Zhafran Ligardi
Lazuardyas Zhafran Ligardi

Written by Lazuardyas Zhafran Ligardi

Some place where my thoughts run a lil bit quick.

No responses yet