Credit: Ink Drop/Shutterstock

Hoax Coronavirus Xiaomi dan Mengapa Kita Bisa Percaya

2020 bahkan belum menuntaskan bulan pertamanya, tetapi kita sudah menemukan satu nominasi hoax paling lucu tahun ini. Tulisan ini (semi) serius.

Lazuardyas Zhafran Ligardi
6 min readFeb 23, 2020

--

“It’s a new decade, something new will always be good” sabda seorang teman, bulan lalu. Ahh ya.. manusia memang selalu menyukai sesuatu yang baru, menganggapnya tempat berbagai harapan dapat digantung. Memang manusia hobi sekali berharap, yang ironi-nya sering berakhir dengan kekecewaan.

Firasat saya sedikit banyak terjadi: 2020 akan menjadi tahun yang berat. Bagaimana tidak, Januari belum selesai dan umat manusia langsung dikeroyok oleh beragam peristiwa yang bukan main-main. Jakarta, salah satu kota penting di Asia Tenggara terendam banjir pada malam tahun baru. 60 tewas. Tidak lama, di Timur Tengah hampir terjadi perang antar negara kuat, tensi seakan tidak pernah reda disana. Lalu kebakaran lahan besar terjadi di bumi selatan. Api membumi-hanguskan 11 juta hektar habitat satwa liar Australia. Belum puas? di Asia Timur, ada virus baru yang mewabah tepat saat musim Imlek, Korban terus bertambah setiap jamnya. Nothing could be worse.

Padahal, segenap optimisme menjulang di akhir 2019. Banyak pencapaian baru yang ingin disaksikan di dekade ini. Beragam resolusi tahun baru — bahkan resolusi dekade baru diteriakkan manusia dengan kalimat optimis : “It’s gonna be a good-good year!” sedang sang tahun tikus logam terkekeh-kekeh sembari mengelus-ngelus beragam kesialan yang ia kantongi. “It’s gonna be one heck of a year to thrive on!” ia berbisik, lalu satu-per-satu musibah ia keluarkan dari kantongnya.

Terbaru, wabah virus novel Coronavirus (2019-nCov) menghantam Tiongkok. Meskipun asal-muasalnya belum diketahui pasti, beberapa ahli dan jurnalis menuliskan — walau masih berupa asumsi, virus tersebut berasal dari kelelawar yang dijual bebas di sebuah pasar hewan hidup ekstrim di tengah kota Wuhan. Betapa sebuah keributan yang terjadi dikarenakan semangkuk sup kelelawar tidak berguna itu.

Coronavirus berlagak layaknya tamu tak diundang pada pesta perayaan tahun baru Imlek, salah satu tradisi pulang kampung terbesar di dunia, setiap tahun. Imbasnya, pemerintah China membatalkan semua perayaan tahun baru, malahan, menutup kota dan menetapkan status darurat nasional seiring ribuan orang-yang terus bertambah tiap jamnya-terinfeksi dan mati. Sebuah anti-klimaks dari acara pesta tahun baru yang biasanya menyenangkan.

That damned virus ruined the whole party.

Coronavirus seakan kaum vandal yang tidak diundang pada suatu pesta. Sudah tak diundang, merusak, membunuh, sampai menenggak semua botol yang tersisa.

Beberapa manusia bertangan usil di negara kita pun turut memberikan kontribusi terbaiknya dalam kasus virus Corona Wuhan—dengan membuat gaduh negara sendiri. Sejak era Reformasi digulirkan masyarakat kita mudah sekali berbicara dan berakhir ribut akan hal-hal yang tidak perlu diributkan. Kontribusi beberapa manusia ini jelas dan terkesan expert di bidangnya: Memfabrikasi hoax, dipoles sebombastis mungkin tidak peduli sebodoh apa materinya terdengar, lalu disebar dengan target-target tertentu. Beberapa waktu lalu di media sosial ramai beredar pesan WhatsApp yang berbunyi seperti ini:

‘xiomi’ ceunah

Hahahah geli, bukan? Pencapaian yang luar biasa! Tidak perlu ditingkatkan prestasinya, ya!

Saya pribadi terhibur dengan kehadiran hoax ini di berbagai media sosial. Tetapi perlahan-lahan senyum saya memudar ketika dalam sebuah sesi wawancara Menkominfo Jhonny Plate di salah satu stasiun TV swasta, beliau menyatakan pesan ini adalah satu yang paling viral, masif penyebarannya — terlepas dari begitu menggelikannya hoax ini terdengar. Penyebaran se-masif ini tentu tidak sepenuhnya dilakukan oleh pencipta hoax tersebut, tetapi dilakukan oleh orang yang percaya (korban), lalu di-forward kepada kontaknya yang lain.

Tetapi mengapa percaya begitu mudahnya?

Okay, saatnya serius.

Viral Hoaxes and Why People Falling on It

Disini saya berusaha untuk merangkai kalimat se-sederhana mungkin. Karena, terakhir saya ngomongin analisis, tidak ada yang mengerti perkataan saya.

Sejauh yang saya pahami, terdapat 3 sikap orang ketika menerima suatu berita bohong: Pertama, skeptis dan melakukan verifikasi; Kedua, percaya tetapi tidak menyebarkan hoax tersebut; Ketiga, setengah percaya, lalu mencari pembenaran, akhirnya disebar. Ketiga sikap ini dengan basis subyek penerima tidak mengetahui informasi yang mereka terima adalah hoax. Ya… kalau sudah tahu berita bohong dari awal tidak akan disebar dong, kecuali disengaja dengan motif target politis tertentu seperti hoax era Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta, dulu.

Saatnya kita analisis hoax ini. Disini terdapat 2 elemen, satu elemen gambar berisi teks berlatar-belakang warna merah, disertai tulisan yang berisi statement persuasif untuk menyebarkan pesan tersebut. Elemen pertama berisi 4 kalimat berbunyi: “(1) Yang pake hp xiaomi cepat buang hp kalian (2)Karena virus corona berasal dari china (3)dan menyebar melalui server (4)dan dikeluarkan dari speaker xiaomi!”.

Divisi research sebuah media aliran mainstream Amerika Serikat, Wired, pernah merilis artikel in-depth panjang tentang disinformasi dan salah satu tanda jelasnya ialah penekanan pernyataan tidak masuk akal yang bombastis yang diselingi dengan imbauan bernada persuasif. Sekarang mari kita tafsirkan satu-per-satu maksud kalimat diatas:

(1) Yang pake hp xiaomi cepat buang hp kalian = Persuasif;

(2) Karena virus Corona berasal dari china = Virus tersebut memang benar dari Wuhan, China. Fungsi kalimat ini hanya sebagai premis berupa fakta untuk meyakinkan pembaca, penggunaan fakta ini misleading.

(3) dan menyebar melalui server =Mencoba meyakinkan korban dengan penggunaan kata ‘server’ yang terkesan canggih dan sulit dipahami. Sang pembuat hoax menginginkan korban melakukan confirmation bias, di akhir akan saya bahas apa ini;

(4) dan dikeluarkan dari speaker xiaomi! = Logika yang dipaksakan : Virus Corona Wuhan tersebar melalui speaker perangkat Xiaomi yang terhubung ke server. Meyakinkan korban bahwa makhluk ini dapat menyebar melalui gelombang elektromagnetik dan suara. Padahal, tidak ada makhluk hidup yang dapat ‘dikirim’ melalui bit-bit biner informasi yang berasal dari server dan ‘dikeluarkan’ melalui speaker. Virus biologis sendiri tidak dapat hidup menempel pada benda mati. Sampai disini jelas, bahwa tiga dari empat kalimat ini mengada-ngada, komikal, dan bersifat disinformatif. Busted.

Meksipun begitu terdapat kemungkinan sang pencipta informasi hanya bermaksud untuk menyampaikan analisisnya mengenai virus ini dan tidak bermaksud sengaja menciptakan disinformasi. Alas, analysis tersebut tumpang tindih dengan analisis mengenai virus komputer. Memang, virus, baik biologis maupun komputer mampu menyebar dan menduplikasi diri. Sayangnya konsep virus biologis dengan virus komputer sangat berbeda. Pun, jika si pencipta tidak memiliki maksud menciptakan disinformasi dan hanya menyampaikan pendapat analisis semata, analisis seyogyanya tidak memerlukan kalimat bernada persuasif. Kajian analisis wajib memiliki penyataan konklusif berupa kesimpulan akhir yang jelas serta memiliki konsekuensi logis. Dan dalam kasus ini, tidak ada. Sehingga kembali, pesan ini jatuh kepada ciri-ciri disinformasi bentuk hoax.

Pun, anggaplah ini hanya kesalahan kesimpulan semata, informasi ini tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai kesimpulan itu sendiri.

Peranan Conformation Bias

Pada kasus viralnya hoax virus Corona ini, ada kecenderungan korban terus mencari informasi yang memvalidasi suatu keyakinan pribadi (pembenaran). Sementara di satu sisi, ia menutup mata (denial)akan adanya informasi lain yang kontra.

Padahal, pasti ada informasi yang bertentangan dengan keyakinannya, yang mungkin saja benar. Kecenderungan berperilaku ini kemudian dapat berkembang menjadi masalah. Pasalnya, bukan hanya mempersempit pikiran, praktik bias konfirmasi ini juga dapat memicu penyebaran kabar bohong. Confirmation bias sudah terjadi, berkali-kali.

Bias konfirmasi adalah kecenderungan alami dalam otak manusia. Hanya saja media sosial yang memungkinkan seseorang dengan mudahnya mengkurasi konten sesuai apa yang mereka yakini, berakhir memanjakan bias ini.

Pernyataan saya diatas ternyata diperkuat studi yang dipimpin Michela Del Vicario dari Laboratory of Computational Social Science, Italia, menginvestigasi kabar penuh kontroversi yang tidak dilengkapi bukti ilmiah. Studi dilakukan sejak 2010 hingga 2014. Para periset menemukan bukti kuat yang bisa menjelaskan, penyebab dari tersebarnya kabar bohong di media sosial adalah bias konfirmasi memicu penyebaran informasi yang salah,” ujar salah satu periset, Walter Quattrociocchi dari IMT Institute for Advanced Studies, Italia.

Lagi, dalam riset bertajuk The Spreading of Misinformation Online itu periset membuktikan betapa aktivitas di dunia daring boleh jadi tak berguna dalam memperluas wawasan. Terutama bagi mereka yang berpikiran sempit.

Belajar dari kasus ini — dan kasus serupa sebelumnya, saya berani mengambil kesimpulan para korban hoax tidak selalu berarti memiliki kecerdasan yang rendah, tetapi hanya memiliki pemikiran yang sempit. Astagfirullahaladhim.

Dalam hati masih berharap firasat saya salah, saya yakin 2020 adalah tahun yang baik. Memang kembali pada bagaimana kita memandang. Tetapi dengan sederet kejadian pada awal tahun ini rasanya tidak bisa ditampik, bahwa umat manusia sedang diberi ujian oleh sang alam. Meskipun pada akhirnya, tidak begitu bijak bagi kita untuk menyimpulkan 2020 is already bad only because it starts with bad sh*t. Semoga api optimisme kita masih terus menyala — So mote it be.

Ciamis,
3 Februari 2020

Referensi :
- ada 10, males nyantuminnya. toh, ini cuma kajian opini bukan artikel ilmiah.

--

--