ELEGI ENERGI: FENOMENA RESOURCE CURSE DAN POTENSI SUMBER DAYA BUMI INDONESIA

Lazuardyas Zhafran Ligardi
8 min readDec 12, 2020

Tulisan ini sejatinya diterbitkan oleh Departemen Kajian Strategis BEM Fikom Unpad sebagai karya terpilih Word of Thoughts bulan September 2019. Artikel tersebut dapat diakses di http://bem.fikom.unpad.ac.id/elegi-energi-fenomena-resource-curse-dan-potensi-sumber-daya-bumi-indonesia/

Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan sumber daya alam tambangnya Indonesia bahkan pernah menjadi anggota OPEC, kelompok berpengaruh beranggotakan bangsa-bangsa eksportir minyak. Implikasinya adalah sektor Migas menjadi tulang punggung utama pemasukan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam jangka waktu yang relatif lama. Bahan galian mineral dan batubara pun masih menjadi primadona hingga saat ini karena jumlahnya yang berlimpah dan beragam. Tidak hanya soal Migas, kekayaan sumberdaya bumi Indonesia memang begitu melimpah, bahkan sejarah membuktikan karena kekayaannya Indonesia pernah menjadi perhatian Amerika Serikat dan Uni Soviet, kedua negara yang saat itu berperang ideologi untuk mendapatkan hegemoni negara-negara dunia ketiga.

Kekayaan ini didukung oleh proses pembentukan kepulauan Indonesia yang dihasilkan dari tumbukan antara tiga lempeng, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Samudera Pasifik dan lempeng Samudera India-Australia. Kekayaan sumber daya bumi ini hendaknya dapat dirasakan oleh segenap rakyat Indonesia. Namun pada kenyataannya tidak demikian, kekayaan yang dimiliki di bumi Indonesia justru seakan-akan menjadi kutukan bagi rakyat Indonesia sendiri karena kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya bumi Indonesia belum dapat menjadi sarana bagi pemerintah untuk mendapatkan manfaat baik dalam jangka pendek, menengah atau jangka panjang dari sumberdaya melimpah tersebut. Maka, apakah Indonesia terkena Resource Curse?

Seorang praktisi ekonomi mineral dari Colorado School of Mines, Roderick G. Eggert mempertanyakan Is Mining a Curse?” Apakah Industri Tambang adalah kutukan? Dalam publikasinya yang berjudul Mining and Economic Sustainability: National Economies and Local Communities yang diterbitkan pada tahun 2001. Eggert mempertanyakan mengapa banyak negara yang memiliki kekayaan sumber daya mineral justru masuk dalam kategori negara ‘tidak makmur’. Negara-negara tersebut seakan gagal melakukan kapitalisasi kekayaan sumber daya mineral mereka untuk kesejahteraan rakyatnya sendiri, contohnya Brazil, Afrika Selatan, Irak, Equatorial Guinea yang kaya minyak tetapi miskin, dan Indonesia sendiri. Padahal, industri tambang adalah berkah bagi negara yang memilikinya, karena faktanya tidak semua negara memiliki kekayaan sejenis itu.

Istilah resource curse dalam dunia ekonomi pertambangan pada dasarnya bukan hal yang asing. Resource curse merupakan performa ekonomi suatu negara yang memiliki kekayaan mineral dan mungkin lebih buruk daripada negara-negara yang tidak memiliki kekayaan mineral. Kondisi ini dapat dianalogikan dengan kondisi negara kita, mengingat Indonesia terkenal dengan kekayaan alam yang melimpah terutama dari sektor tambang, namun dengan kekayaan alam yang ada tidak dapat mengerek peningkatan kesejahteraan masyarakat hingga kini.

Kutukan Resource Curse pantas disematkan pada performa ekonomi pada beberapa negara berkembang yang diberkahi dengan kekayaan mineral dan energi, pertumbuhan riil Gross Domestic Product tidak sesuai dengan pengharapan. Kondisi yang berperan dalam keterjadian resource curse ini diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya kekuatan pasar eksternal, tekanan ekonomi internal dan kesalahan institusional.

Faktor-faktor lain yang memperparah yaitu jatuhnya harga mineral dunia, volalitas harga, Dutch Disease serta korupsi dan keputusan kebijakan yang lemah. Dutch Disease sendiri dapat diartikan sebagai penyakit negara yang seluruh kegiatan ekonominya ketergantungan kepada industri tambang — sebuah kondisi yang berisiko. Kondisi krisis Venezuela saat ini adalah efek dari Dutch Disease, sedangkan Equatorial Guinea memiliki masalah korupsi dan kebijakan yang lemah, menempatkan 75% penduduknya dibawah garis kemiskinan, meratap diatas tanah kaya akan minyak bumi.

Selain itu dikenal istilah linkage effect, yaitu industri secara tidak langsung terkena efek kelesuan industri tambang, seperti industri transportasi, industri bahan bakar, dan industri manufaktur. Lesunya industri tambang dikarenakan faktor eksternal seperti kejatuhan harga minyak akhirnya berdampak pula terhadap industri linkage effect yang secara tidak langsung juga memperlambat laju perekonomian Indonesia.

Dutch Disease sendiri dapat diartikan sebagai penyakit negara yang seluruh kegiatan ekonominya ketergantungan kepada industri tambang — sebuah kondisi yang berisiko. Kondisi krisis Venezuela saat ini adalah efek dari Dutch Disease

Dimana posisi Indonesia?

Selain faktor-faktor diatas, penyebab terjadinya resource curse lebih kepada pengambilan kebijakan yang tidak tepat dalam memanfaatkan surplus dana yang ada dari hasil kekayaan alam yang dimiliki oleh suatu negara. Pendekatan kondisi surplus di Indonesia mungkin masih sulit dibayangkan, namun dengan kenyataan yang ada, kekayaan alam Indonesia belum mampu mensejahterakan masyarakat.

Sektor energi yang selalu menjadi isu hangat nasional, menyangkut pada kondisi Indonesia yang berada pada ring of fire. Hal ini memperkaya tanah Indonesia dengan adanya deretan gunung api. Kondisi ini memungkinkan Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki potensi panas bumi yang besar di level dunia, yaitu sebesar 28.100 MWe. Sedihnya, merujuk pada publikasi resmi Kementerian ESDM, potensi tersebut baru dimanfaatkan sebesar 1189 MWe, hanya 4% dari potensi total. Betapa sebuah elegi sembari melihat kondisi sebagian masyarakat di Indonesia Timur yang bahkan belum pernah tersentuh listrik berpuluh-puluh tahun.

Beralih ke sektor perminyakan. Minyak yang dikenal sebagai ‘emas hitam’ -bukan dalam artian sesungguhnya- telah menjadi komoditi penting perdagangan global sejak Oil Boom 4 dekade lalu. Pertamina sebagai ujung tombak industri migas negara benar-benar berjaya di era 70’an. Indonesia bahkan berperan aktif ketika masih menjadi anggota OPEC sampai keluar pada tahun 2008. Keluarnya Indonesia dinilai wajar, dikarenakan Indonesia sudah mulai mengimpor minyak sejak 2003.

SKK Migas memberikan laporan mengenai produksi minyak Indonesia per Januari 2016, meskipun data ini didapat dari 2016, dengan asumsi kontrak pengeboran minyak yang biasanya berlangsung belasan tahun maka tidak akan ada perubahan signifikan di tahun 2020. Hal yang cukup mengejutkan dimana Pertamina sebagai entitas BUMN Indonesia hanya memiliki share sebesar 15% saja.

Refleksi dalam data diatas, sangat disayangkan ketika cadangan minyak bumi Indonesia secara terus menerus dibor asing dan dibawa ke luar negeri, lalu diimpor kembali ke dalam negeri ketika telah menjadi produk siap pakai. Maka dari itu, sangat disarankan untuk melakukan lokalisasi pengolahan bahan tambang esensial seperti minyak dan gas alam melalui pembangunan fasilitas pemurnian mineral logam di Indonesia dan pengilangan-penyulingan minyak, serta peningkatan added value bagi mineral logam sebelum diekspor. Diharapkan dengan melakukan hal tersebut, akan mendatangkan keuntungan besar bagi negara, seperti penambahan jumlah lapangan pekerjaan dan meningkatnya penerimaan negara bukan pajak (PNPB).

Sektor tambang adalah salah satu komponen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB). Meninjau sumbangannya terhadap APBN, sektor pertambangan pada 2 tahun terakhir telah memenuhi target yang telah ditentukan. Penerimaan negara dari sektor pertambangan tahun 2018 yang ditargetkan sebesar Rp32,1 triliun telah terkumpul sebesar Rp46,6 triliun, memberikan kontribusi sebesar 5,3% dari total penerimaan negara. Pada tahun 2019 yang ditargetkan sebesar 41,2 triliun terealisasi 45,59 triliun. Hal ini adalah sebuah peningkatan yang menggembirakan mengingat 4 tahun sebelumnya pada 2015 hanya menyumbang Rp29,6 triliun, bahkan menurun di 2016 menjadi Rp27,2 triliun.

Kontribusi positif ini memiliki peran dalam menyerap tenaga kerja baru serta menekan angka pengangguran. Hal ini layak diapresiasi, tetapi dirasa belum cukup untuk mengeluarkan Indonesia dari resource curse. Kita perlu memutar otak karena tidak selamanya kita bisa bergantung ke minyak. di lain sisi, dunia barat sedang ramai mengampanyekan renewable energy (energi terbarukan).

Energi Terbarukan, Sebuah Solusi?

Energi terbarukan belum dapat menjadi solusi untuk mengeluarkan Indonesia dari resource curse, jika pemanfaatannya minim. Kecuali pemerintah berani mengeluarkan anggaran ‘jor-joran’ untuk investasi di sektor ini. Sebagai pembanding, India bahkan memiliki kementerian sendiri untuk fokus pada pemakaian energi terbarukan.

Energi berbasis fosil, seperti minyak bumi dan batubara tidak akan eksis selamanya. Cadangan migas dunia terus berkurang secara ekspoensial mengingat manusia mengeruk dan menyedot setiap hari demi menjalankan ekonomi serta pembangunan. Krisis energi bisa saja terjadi, bilamana negara-negara tidak bersiap mencari alternatif lain. Krisis energi dapat merambat kepada krisis-krisis lain, termasuk krisis sosial bahkan geopolitik lantaran energi berperan sebagai penopang aktivitas ekonomi.

Dunia barat sudah mulai memberikan perhatian serius pada penggunaan energi terbarukan. Mobil-mobil konsumen hybrid maupun full-electric sudah keluar di pasaran dan mendapat ulasan positif untuk performanya. Memang, harga yang saat ini dibanderol tinggi belum dapat dijangkau oleh kelas berpenghasilan menengah, tetapi hal ini bukan masalah besar mengingat teknologi akan semakin terjangkau dari waktu ke waktu. Penulis yakin, suatu saat akan ada mobil listrik yang memiliki harga setara dengan mobil bensin di kelas yang sama.

Pada saat artikel ini ditulis, Indonesia masih mengandalkan energi berbasis fosil untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Energi berbasis fosil ini terus menipis keberadaannya, sementara kita baru berancang-ancang untuk shifting ke energi terbarukan. Posisi Indonesia yang merupakan negara tropis menyimpan potensi luar biasa untuk pemanfaatan sumber energi terbarukan. Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebutkan kepada Kompas, potensi energi terbarukan nasional mencapai 417,8 gigawatt. Potensi itu tersebar dalam bentuk panas bumi, angin, matahari, air dan laut.

Sayangnya realisasi pemanfaatan energi terbarukan lebih cocok dijadikan elegi daripada diberikan apresiasi. Potensi energi panas bumi sebesar 28.1 gigawatt baru dimanfaatkan sebanyak 1189 megawatt, atau hanya 4 persen. Sumber energi air memiliki potensi 75 gigawatt, dengan pemanfaatan sebesar 6,08 gigawatt atau 8 persen; sumber bioenergi berpotensi 32,6 gigawatt dengan pemanfaatan 1,9 gigawatt atau sebesar 5 persen. Energi surya memiliki potensi raksasa 297,8 gigawatt tetapi dengan pemanfataan minim yang hanya 0,14 gigawatt atau 0,07 persen. Lebih miris, energi laut yang memiliki potensi 17,8 gigawatt belum dipanen sama sekali menjadi listrik.

Logika sederhana, tentu saja energi terbarukan belum dapat menjadi solusi untuk mengeluarkan Indonesia dari resource curse, jika pemanfaatannya minim. Kecuali pemerintah berani mengeluarkan anggaran ‘jor-joran’ untuk investasi di sektor ini. Sebagai pembanding, India bahkan memiliki kementerian sendiri untuk fokus pada pemakaian energi terbarukan. Perlu kita sadari bahwa waktu terus berjalan menggerus siapapun yang belum siap, serta cadangan energi fosil terus menipis dari hari ke hari. Saat ini, penulis hanya bisa berharap.

Penutup

Pemerintah Indonesia sudah sewajarnya menjalankan amanat konstitusi yang terkandung dalam pasal 33 ayat 2 UUD 1945 untuk menggunakan seluruh kekayaan bumi yang ada untuk kemakmuran rakyat. Segala usaha pemerintah dari mulai regulasi sampai tahapan eksekusi harus berpedoman pada amanat ini. Kemampuan suatu negara untuk merubah keadaan tergantung pada usaha yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan tersebut. Apabila ditemukan usaha yang menyimpang, wajar rakyat mengamuk mengingatkan mereka para pemimpin yang mengantuk. Mahasiswa sebagai kaum yang mempunyai idealisme dan menyadari kebebasan berpendapat perlu ikut andil memperjuangkan agar negara kita dapat lebih serius dalam usaha menuju kedaulatan energi, serta menjauh dari kutukan ‘resource curse’. Semoga.

Referensi & Further Reading

Carmichael, S. (2013). Venezuela’s Chance to Escape the “Resource Curse”. Retrieved from HARVARD BUSINESS REVIEW.

Center for Global Development. (2010). Can Oil Money Be Spent Well? Alan Gelb on Resource Revenues and Development. Washington D.C. Retrieved from https://www.cgdev.org/media/can-oil-money-be-spent-well-alan-gelb-resource-revenues-and-development

Devasahaam, S., Downling, K., & Mahapatra, M. (2016). Sustainability in the Mineral and Energy Sectors. Florida: CRC Press.

Eggert, R. (2001, October). Mining and Economic Sustainability: National Economies and Local Communities. Retrieved from https://pubs.iied.org/pdfs/G00952.pdf

Carmichael, S. (2013). Venezuela’s Chance to Escape the “Resource Curse”. Retrieved from HARVARD BUSINESS REVIEW.

Center for Global Development. (2010). Can Oil Money Be Spent Well? Alan Gelb on Resource Revenues and Development. Washington D.C. Retrieved from https://www.cgdev.org/media/can-oil-money-be-spent-well-alan-gelb-resource-revenues-and-development

Devasahaam, S., Downling, K., & Mahapatra, M. (2016). Sustainability in the Mineral and Energy Sectors. Florida: CRC Press.

Eggert, R. (2001, October). Mining and Economic Sustainability: National Economies and Local Communities. Retrieved from https://pubs.iied.org/pdfs/G00952.pdf

HARVARD BUSINESS REVIEW. (2013). HARVARD BUSINESS REVIEW: Venezuela’s Chance to Escape the “Resource Curse”. Retrieved from Harvard Business Review: https://hbr.org/2013/03/venezuelas-chance-to-escape-the-re

Inkpen, A. (2016). HARVARD BUSINESS REVIEW: The Global Oil and Gas Industry. Brighton: Harvard Business Publishing.

International Renewable Energy Agency. (2017, Maret). Renewable Energy Prospects: Indonesia. Retrieved from IRENA : International Renewable Energy Agency: https://irena.org/-/media/Files/IRENA/Agency/Publication/2017/Mar/IRENA_REmap_Indonesia_report_2017.pdf

Kasbani. (n.d.). Sumber Daya Panas Bumi Indonesia: Status Penyelidikan, Potensi Dan Tipe Sistem Panas Bumi. Retrieved from Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panas Bumi: http://psdg.bgl.esdm.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=841&Itemid=611

Mehlum, H., Moene, K., & Torvik, R. (2006, January). Institutions and the Resource Curse. OXFORD ACADEMIC: The Economic Journal, 116(508), 1–20. doi:https://doi.org/10.1111/j.1468-0297.2006.01045.x

Mulyana. (2018, November 15). Kontribusi Pertambangan ke APBN Lampaui Target. Retrieved from MEDIA INDONESIA: https://mediaindonesia.com/read/detail/198000-kontribusi-pertambangan-ke-apbn-lampaui-target

Rully, R. (2020, September 8). Menteri ESDM: Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan Baru 2,5 Persen. Retrieved from Kompas.com: https://money.kompas.com/read/2020/09/08/152800726/menteri-esdm--pemanfaatan-energi-baru-terbarukan-baru-2-5-persen?page=all

Tiess, G., Majumder, T., & Cameron, P. (2015). Encyclopedia of Mineral and Energy Policy. Berlin: Springer Berlin Heidelberg.

--

--