Bahasa Tubuh dan Seberapa Penting Ia

Lazuardyas Zhafran Ligardi
3 min readJun 26, 2023

Setiap hari kita berkomunikasi dengan orang lain melalui kata-kata, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh. Dalam konteks komunikasi sehari-hari (bukan komunikasi publik semacam pidato, atau pesan tulis (chat, esai), dan semacamnya), akan tidak tepat apabila mengatakan bahwa komunikasi hanya terjadi lewat untaian kata-kata sebab hanya 7% pesan yang tersampaikan lewat kata-kata, sementara 93% sisanya melalui ekspresi wajah dan bahasa tubuh. Memang hal ini terkesan aneh, tetapi begitulah hasil penelitian Albert Mehrabian, profesor psikologi dari UCLA. Beliau mengungkapkan hasil penelitiannya dalam buku berjudul Silent Messages: A Wealth of Information About Nonverbal Communication.

Pemisalan bahasa tubuh adalah semisal ketika berbicara dengan orang lain, kita mungkin menatap matanya atau justru melihat ke arah lain/menundukkan kepala. Namun seberapa pentingkah bahasa tubuh? Dalam risetnya, Nalini Ambady, peneliti dari Tufts University, mempertontonkan video interaksi dokter-pasien tanpa suara. Kemudian beliau bertanya kepada responden tentang dokter mana yang akan dipilih apabila mereka sakit. Mayoritas responden memilih dokter yang memiliki bahasa tubuh yang baik (menandakan dokter tersebut komunikatif), dan tak terlalu memusingkan kompetensinya.

Hal menarik adalah bahwa yang terpengaruh oleh bahasa tubuh nyatanya tidak hanya lawan bicara, tetapi juga tubuh kita sendiri. Amy Cuddy, psikolog sosial asal AS, mengatakan, “your body language shapes who you are.” Pernyataan tersebut didasarkan kepada risetnya bersama Dana Carney dari UC Berkeley, yang dipublikasikan di Journal of Personality and Social Psychology, tentang bahasa tubuh individu yang dominan. Inilah yang akan dibahas pada bahasan ini. Seperti apakah individu yang dominan?

Pada kingdom animalia, individu yang dominan akan merentangkan tubuh, occupying space. Semisal, gorilla suka merentangkan tangan kemudian menepuk-nepuk dada, ini menunjukkan bahwa ia dominan. Pada manusia, misal seorang pemain sepakbola mencetak gol, ia merentangkan tangan ke atas (bentuk V) dan dagu diangkat sedikit. Perilaku ini tak terbatas pada primata saja, contohnya ular kobra yang mengembangkan leher, unggas yang melebarkan sayap, dan bentuk-bentuk lain pada serangga, dan lainnya. Perilaku-perilaku tersebut secara naluriah dilakukan hewan ketika merasa dirinya dominan dan/atau powerful. Menariknya, menurut Amy Cuddy, perempuan lebih cenderung merasa less powerful dibanding laki-laki.

Amy Cuddy memerhatikan bahasa tubuh mahasiswa-mahasiswanya di Harvard. Ia melihat adanya korelasi antara bahasa tubuh dan partisipasi di kelas, dimana mahasiswa yang menunjukkan diri dominan cenderung lebih aktif di kelas. Ini berarti, ada mahasiswa-mahasiswa tertentu yang dapat diprediksi akan kurang aktif di kelas, terlihat melalui bahasa tubuhnya. Bagi Amy, ini menjadi masalah di tempat ia mengajar (Harvard Business School), sebab partisipasi di kelas berkontribusi 50% terhadap nilai akhir. Mahasiswanya dituntut untuk aktif di kelas, tetapi bagaimana dengan mereka yang merasa tidak dominan? Amy berpikir, dapatkah bahasa tubuh mempengaruhi seberapa dominan mereka?

Do our nonverbals govern how we think and feel about ourselves? Inilah ide dasar atas riset tersebut; dan jawabannya, adalah ya. Sehingga, ketika kita merentangkan tangan dan menaikkan dagu, kita menjadi cenderung merasa lebih ‘powerful’. Bagaimana bisa?

Tetapi, bagaimana cara mengetahui bahwa individu sedang merasa powerful atau powerless?
Adakah parameter yang teruji secara scientific? Kita dapat saja melakukan pemindaian terhadap otak dengan metode fungsional MRI, tetapi akan lebih efisien melalui cara uji hormon.

Individu yang powerful memiliki kadar testosteron (dominance hormone) yang tinggi dan kortisol (stress hormone) yang rendah. Amy dan rekannya membawa beberapa orang ke lab dan meminta sebagian mereka memasang pose dominan (merentangkan tubuh) selama 2 menit, sementara sebagian lainnya diminta memasang pose sebaliknya, yakni pose ‘low power people’, dengan melipat tangan, menundukkan kepala, dan sebagainya. Setelah itu. sampel air liur mereka diambil untuk diuji kadar testosteron dan kortisolnya, dan kemudian mereka semua diminta kembali untuk melakukan beberapa hal yang berhubungan dengan dominansi. Hasilnya, orang yang melakukan pose ‘high power’ mengalami kenaikan testosteron 20% dan penurunan kortisol 25%, sedangkan yang melakukan sebaliknya mengalami penurunan testosteron 10% dan kenaikan kortisol 15%.

Ini adalah sekadar hasil di laboratorium, tetapi bagaimana dengan di kehidupan sehari-hari? Dapatkah hasil tersebut memberikan perubahan signifikan dalam keseharian kita?

Amy kemudian melakukan eksperimen yang sama, dimana sebagian orang melakukan high power pose dan sebagian lainnya sebaliknya. Setelah 2 menit melakukan pose masing-masing, mereka menjalani wawancara kerja dalam 5 menit untuk kemudian direkam. Pewawancara yang mewawancarai mereka sudah dilatih untuk tidak memberikan feedback nonverbal sehingga emosi mereka tak terpengaruh oleh pewawancara tersebut. Kemudian, rekaman hasil wawancara diberikan kepada sosok penilai yang tidak mengetahui bahwa ini adalah sebuah hasil penelitian. Penilai diminta untuk memilih manakah orang-orang yang sekiranya ‘hireable’, dan hasilnya adalah mereka yang sebelumnya telah melakukan high power pose, dan yang melakukan hal sebaliknya justru tidaklah dipilih.

Lazuardyas Ligardi
Bandung, 26 Juni 2023

--

--